Rabu, 05 Januari 2022

Tilang Elektronik dan Peran Dinas Perhubungan

Oleh : Benidiktus Susanto

Menurut data Korps Lalu Lintas Polri tahun 2019, setiap jam terdapat 3 orang meninggal akibat kecelakaan lalu lintas. Mengapa ini dapat terjadi? Ada banyak faktor yang dapat menyebabkan kecelakaan lalu lintas. Sebagian besar penelitian menyatakan bahwa penyebab utama kecelakaan adalah faktor manusia (human factor) disamping fakkor lainya yaitu sarana (kendaraan) dan prasarana serta lingkungan.

Beberapa sumber menyatakan bahwa kecelakaan lalu lintas biasanya diawali dengan pelanggaran. Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE) atau tilang elektronik yang telah diterapkan sejak 23 Maret 2021 di sejumlah daerah di Indonesia merupakan satu langkah maju dalam meningkatkan budaya tertib lalu lintas, mengurangi jumlah pelanggaran. Rendahnya law enforcement selama ini menyebabkan pelanggaran lalu lintas masih tinggi. Harapannya ketertiban berlalu lintas tidak hanya terjadi pada titik-titik ber-ETLE saja melainkan akan manjadi kebiasaan bagi setiap pengguna jalan raya di mana saja mereka berlalu lintas.

Saat ini ETLE dikelola oleh Kepolisian RI. Ini merupakan tugas berat baru di kepolisian. Apakah identifikasi pelanggaran lalu lintas hanya dapat dilakukan oleh institusi kepolisian? Kalau kita lihat moda transportasi lain seperti pesawat udara, kapal laut maupun penyeberangan, kereta api, angkutan umum, dan angkutan barang peran Dinas Perhubungan sangat kelihatan. Sebagai contoh, Dinas Perhubungan juga melakukan penindakan di lapangan seperti pelanggaran parkir dan pelanggaran batas muatan. Semestinya identifikasi pelanggaran lalu lintas jalan raya lainnyapun dapat dilakukan atau dibantu oleh personil Dinas Perhubungan yang tentunnya akan memperingan tugas kepolisian.

Petugas kepolisian utamanya polisi lalu lintas dapat lebih fokus pada pengaturan dan penindakan pelanggaran lalu lintas di lapangan, sementara itu Dinas Perhubungan dapat berperan dalam penindakan melalui tilang elektronik. Petugas penindakan tidak perlu berhubungan langsung dengan pelanggar lalu lintas, cukup dengan bukti rekaman kamera ETLE. Selama ini kendala petugas Dinas Perhubungan dalam melakukan penindakan adalah karena meraka tidak memiliki “senjata”. Tidak dipungkiri bahwa masyarakat Indonesia masih segan dengan polisi yang nota bene “bersenjata”. Apabila ada petugas kepolisian bertugas di jalan raya, maka para pengemudi cenderung lebih tertib. Patung polisi yang masih berdiri tegap di banyak titik jalan raya merupakan salah satu bukti bahwa polisi lalu lintas masih disegani.  

Dinas Perhubungan sebagai institusi pemerintah yang salah satu tugasnya adalah menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang keselamatan jalan mestinya dapat diberi peran lebih dalam urusan tilang elektronik ini, karena tujuan utama dari program ini adalah keselamatan lalu lintas. Titik-titik ETLE yang mengindikasikan banyak pelanggaran harus mendapat perhatian lebih untuk dievaluasi. Hasil evaluasi bisa berupa perbaikan manajemen lalu lintas, perbaikan geometrik jalan, kampanye keselamatan lalu lintas, dan sebagainya. Ini merupakan tugas dari Dinas Perhubungan.

Data ETLE tidak hanya semata-mata digunakan untuk menentukan seorang pengemudi melakukan pelanggaran atau tidak, namun dapat pula digunakan untuk mengevaluasi apakah manajemen lalu lintas di titik tersebut sudah baik atau belum. Pengemudi yang melanggar bisa jadi disebabkan karena kurang baiknya manajemen lalu lintas, seperti tidak sesuainya fase APILL (Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas) dengan kebutuhan, rusaknya APILL yang seringkali tidak segera diperbaiki, rambu lalu lintas yang tidak terlihat dengan jelas, kapasitas simpang yang sudah terlalu tinggi, dan lain sebagainya.

Lalu lintas yang berkeselamatan dapat diwujudkan dengan perencanaan manajeman lalu lintas yang baik. Perencanaan manajeman lalu lintas yang menjadi tanggung jawab Dinas Perhubungan tentunya harus dievaluasi secara periodik setelah diimplementasikan, karena sifat lalu lintas yang dinamis. Hasil evaluasi akan digunakan untuk perbaikan. Salah satu tolok ukur yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan manajemen lalu lintas adalah meningkatnya keselamatan lalu lintas. Dengan peran Dinas Perhubungan diharapkan ETLE tidak hanya berfungsi untuk menindak pelanggaran lalu lintas, namun lebih dari itu yaitu untuk menjadikan bahan evaluasi untuk mewujudkan lalu lintas berkeselamatan.

Perguruan tinggi yang berkonsentrasi pada bidang transportasi darat di bawah Kementerian Perhubungan telah menghasilkan lulusan yang handal di bidang lalu lintas dan angkutan jalan raya. Sumber daya manusia ini harus dimaksimalkan untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga ahli di bidang lalu lintas dan angkutan jalan raya. Pemberian peran ini tidak semata-mata untuk mengambil alih wewenang penindakan oleh kepolisian, namun untuk mempermudah dalam proses evaluasi manajemen lalu lintas,

Masih Perlukah “Kawasan Tertib Lalu Lintas”?

Tertib dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti teratur, menurut aturan, rapi. Lalu Lintas menurut Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nomor 22 Tahun 2009 adalah gerak kendaraan dan orang di ruang lalu lintas jalan. Jadi, tertib lalu lintas dapat diartikan sebagai tuntutan untuk menurut aturan bagi seluruh kendaraan atau orang yang berada di ruang lalu lintas.

Saat ini tertib lalu lintas seharusnya sudah menjadi kewajiban bagi seluruh pengguna jalan, baik pengemudi kendaraan (bermotor maupun tidak bermotor), penumpang kendaraan, maupun pejalan kaki. Menurut penulis, agak aneh bila pada beberapa ruas jalan, masih dijumpai rambu yang bertuliskan “Anda Memasuki Kawasan Tertib Lalu Lintas”. Pesan itu dapat mengandung arti bahwa sebelum memasuki ruas jalan tersebut, seorang pengguna jalan melalui kawasan yang “bukan” Kawasan Tertib Lalu Lintas. Hal ini dapat diartikan pula bahwa seorang pengguna jalan tidak perlu mentaati peraturan lalu lintas pada kawasan yang bukan Kawasan Tertib Lalu Lintas. Kalau para pengguna jalan mengartikannya demikian, maka sungguh sangat berbahaya berlalu lintas di luar Kawasan Tertib Lalu Lintas.

Aturan yang mirip seperti ini pernah diterapkan pada awal mula pemerintah menggalakkan penggunaan helm bagi para pengemudi sepeda motor di Indonesia. Para pembaca mungkin masih ingat sekitar 30 tahun yang lalu di beberapa ruas jalan di Kota Yogyakarta ada rambu yang bertuliskan “Jalur Helm”. Apa yang terjadi saat itu? Ketika seorang pengemudi sepeda motor akan melalui jalur tersebut, maka mereka menyiapkan helm mulai dari rumah. Apabila mereka tidak akan melewati jalur tersebut, maka mereka tidak perlu “repot-repot” menyiapkan helmnya. Apakah helm itu dipakai mulai dari keberangkatan? Ternyata, waktu itu, tidak. Banyak alasan yang melatarbelakangi para pengguna sepeda motor “malas” menggunakan helm, mulai dari mahal, tatanan rambut rusak, panas, dan seribu satu alasan lainnya. Seiring perjalanan waktu dan makin seringnya penertiban yang dilakukan oleh aparat Kepolisian saat itu, maka pengguna sepeda motor akhirnya menjadi terbiasa dengan penggunaan helm.

Penggunaan sabuk pengaman bagi pengendara dan penumpang mobil juga mengalami hal yang serupa. Mungkin para pembaca juga sering mengalami ketika duduk di sebelah pengemudi dan melewati simpang Candi Prambanan. Si pengemudi sering mengingatkan untuk memakai sabuk pengaman, karena pada lokasi tersebut sering dilakukan “operasi” penggunaan sabuk pengaman. Kembali timbul pertanyaan, apakah di ruas jalan lain “boleh” tidak menggunakan sabuk pengaman?

Apakah Tertib Lalu Lintas secara umum juga akan dilakukan dengan model seperti ini? Menurut pendapat penulis, sebaiknya tidak. Tertib lalu lintas adalah suatu keharusan, tidak perlu ditawar-tawar lagi mana kawasan yang harus tertib dan mana kawasan yang boleh tidak tertib. Semua jalan raya adalah kawasan tertib lalu lintas. Mengapa demikian? Karena tertib lalu lintas bukan hanya masalah keselamatan pribadi, melainkan juga keselamatan orang lain.

Membiasakan diri untuk tertib di jalan raya perlu selalu dilakukan. Budaya malu ketika melanggar atau tidak tertib di jalan raya mestinya harus kian tumbuh, bukan malah budaya bangga ketika bisa melanggar peraturan. Belajar dari pengalaman penertiban penggunaan helm bagi pengendara sepeda motor, penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat kepolisian atas pelanggaran yang dilakukan di jalan raya, menurut pengamatan penulis, akan menjadi obat yang mujarab untuk menertibkan semua pengguna jalan raya. Saat ini ketika orang naik sepeda motor yang paling diingat adalah apakah sudah memakai helm atau belum, bukan ada kaca spionnya atau lampunya mati, atau membawa kelengkapan surat. Semoga ini juga akan dilanjutkan dengan penegakan hukum atas jenis pelanggaran yang lain, sehingga komponen keselamatan dan ketertiban lalu lintas yang lain akan juga selalu diingat ketika seseorang akan mulai menggunakan jalan raya.

Mari kita menjadi pelopor keselamatan lalu lintas. Selamat untuk diri sendiri maupun orang lain. Jadikan semua jalan raya adalah “KAWASAN TERTIB LALU LINTAS”.

Sepeda Pascapandemi

Pandemi Covid-19 di Indonesia sudah berlangsung lebih dari setahun. Banyak perubahan dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Salah satu perubahan yang mencolok dan dapat dilihat dengan nyata adalah meningkatnya kegiatan bersepeda. Penulis meyakini bahwa setelah pandemi ini berakhir, hobi bersepeda tidak akan surut. Hal ini diperkuat dengan munculnya komunitas-komunitas bersepeda baru yang secara rutin mengadakan kegiatan bersepeda bersama dan semakin larisnya sepeda yang melebihi harga sepeda motor bahkan sampai dengan harga selangit untuk ukuran sepeda. Sayang sekali kalau sepeda itu kemudian hanya diparkir di rumah setelah pandemi berakhir. Hobi bersepeda di masa pendemi ini dapat menjadi momentum untuk menggalakkan penggunaan sepeda dalam menunjang aktivitas sehari-hari pascapandemi. Oleh karena ini, saat ini perlu mulai dipikirkan dan disiapkan fasilitas-fasiltas bagi penggemar sepeda agar hobi ini nantinya dapat ditingkatkan menjadi kebiasaan baru dalam memenuhi kebutuhan transportasi.

Penyediaan fasilitas untuk pesepeda berupa jalur khusus sepeda memang sangat ideal apabila dapat direalisasikan, namun dengan kondisi lalu lintas dan jalan raya di banyak kota di Indonesia, cukup sulit untuk merealisasikannya. Selain itu, selama ini jalan raya dibangun dengan mengikuti standar perencanaan jalan raya untuk kendaraan bermotor dan tidak

Banyak keuntungan yang akan diperoleh apabila masyarakat mau berganti moda dari kendaraan bermotor ke sepeda. Permasalahan yang ditimbulkan akibat transportasi seperti polusi udara, polusi suara, penggunaan BBM, kebutuhan ruang parkir dan masih banyak lagi akan dapat dikurangi. Yang tidak kalah penting lagi adalah terjaganya kesehatan bagi penggunanya.

Kebiasaan bersepeda menuju dan dari tempat beraktivitas sehari-hari akan meningkat apabila tersedia fasilitas yang memadai. Fasilitas bagi para pesepeda dapat dimulai dari hal yang paling mungkin dilakukan. Ruang parkir sepeda yang nyaman dan aman pada setiap pusat kegiatan akan menjadi syarat utama. Umumnya sepeda sangat mudah untuk dibawa ke mana-mana, bahkan dengan satu tanganpun sepeda akan mudah dijinjing, termasuk oleh pencuri. Untuk itu, perlu inovasi tempat parkir (menyimpan) sepeda di tempat-tempat umum. Loker sepeda pada pusat-pusat kegiatan mungkin dapat menjadi salah satu alternatif. Hal ini dapat dimulai pada instansi-instansi pemerintah maupun kantor-kantor swasta yang karyawannya tidak banyak melakukan kegiatan di luar kantor.

Untuk sekolah, penyediaan fasilitas bagi para pesepeda relatif lebih mudah, karena siswa masuk dan pulang pada jam yang bersamaan. Penerimaan siswa baru dengan sistem zonasi sangat mendukung program penggunaan sepeda. Dengan sistem ini siswa suatu sekolah diprioritaskan berasal dari sekitar sekolah tersebut atau hanya beberapa kilometer saja dari sekolah. Jarak ini sangat mungkin ditempuh dengan sepeda.

Selain fasilitas, usaha menggalakkan penggunaan sepeda perlu dibarengi dengan usaha meningkatkan keamanan bersepeda. Selama ini, banyak orang menganggap bahwa bersepeda adalah suatu hal yang sepele. Apabila sepeda sudah digunakan di jalan raya, maka sebenarnya mengendarai sepeda bukan hanya sekedar menyeimbangkan dan mengayuh sepeda, namun sangat perlu untuk menguasai tata cara berkendara di jalan raya dengan baik dan benar.

Pesepeda yang sebelumnya sudah sering menggunakan sepeda motor dan memiliki Surat Izin Mengemudi mungkin merasakan hal ini tidak begitu bermasalah, meskipun sebenarnya juga terdapat beberapa perbedaan yang sangat berarti. Akselerasi, kemapuan pengereman, kestabilan kendaraan, perlengkapan kendaraan seperti kaca spion dan lampu sein adalah beberapa perbedaan akan sangat mempengaruhi perilaku bersepeda. Pengenalan terhadap karakteristik sepeda menjadi sesuatu yang sangat penting sebelum pesepeda memutuskan untuk berkendara di jalan raya.

Kampanye selamat bersepeda perlu terus dilakukan guna menciptakan lalu lintas yang selamat. Pemerintah juga memakai momentum booming sepeda untuk mengeluarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 59 Tahun 2020 tentang Keselamatan Pesepeda di Jalan. Masa pandemi ini bisa menjadi waktu yang sangat tepat untuk mengampanyekan penggunaan sepeda yang selamat. Penggunaan media sosial sangat mungkin menjadi alternatif media kampanye yang paling efektif saat ini.

Harapan kita semua bahwa pandemi ini akan segera berakhir, namun hobi bersepeda harus terus dijaga jangan sampai surut. Suatu momentum yang sangat berharga di tengah pandemi untuk menciptakan kebiasaan baru bersepeda pascapandemi, bersepeda untuk sekolah dan bekerja.