Selasa, 11 Januari 2011

Pelanggaran Parkir di Yogyakarta

Oleh : Ryoichiro Amran Gultom
Ditulis dalam Tugas Mata Kuliah Manajemen Lalu Lintas
Program Studi Teknik Sipil Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Pelaksanaan kegiatan parkir yang terjadi di Yogyakarta sebenarnya memiliki landasan hukum yang kuat, dan diatur dalam Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 17 Tahun 2002 Tentang Penyelenggaraan Perparkiran. Akan tetapi pada pelaksanaan yang terjadi di lapangan masih sering terjadi pelanggaran yang sebenarnya dapat dihindarkan apabila ada pengawasan dari pihak-pihak yang berwenang (baik tim independen maupun utusan dari tim Penyidik Pegawai Negeri Sipil/PPNS Pemerintah Daerah Yogyakarta), dan adanya kesadaran dari komponen-komponen jasa parkir itu sendiri yang meliputi: pengguna jasa parkir, petugas/juru parkir, dan tentu saja pemerintah daerah Yogyakarta itu sendiri.

Sanksi yang diberikan dalam kegiatan perparkiran acapkali hanya berupa teguran kepada pemilik kendaraan maupun kepada petugas/juru parkir yang melanggar. Pihak pemerintah daerah kota Yogyakarta jarang menjadi pihak yang disalahkan apabila terjadi pelanggaran di lapangan, karena pihak pemerintah daerah kota Yogyakarta seolah-olah hanya bertugas mengurusi pemungutan retribusinya saja, tanpa mengawasi dan mengecek kegiatan perparkiran tersebut secara langsung di lapangan.

Sanksi-sanksi yang diberikan apabila terdapat pelanggaran oleh masing-masing pihak di lapangan berdasarkan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 17 Tahun 2002 Tentang Penyelenggaraan Perparkiran yaitu: Surat tugasnya dicabut (bagi juru parkir/pasal 7), dan kendaraan diderek kemudian dipindahkan ke suatu tempat yang telah ditetapkan oleh walikota dan biaya penderekan juga resiko akibat penderekan tersebut menjadi beban dan tanggung jawab bagi pemilik kendaraan yang kendaraannya diderek (bagi pemilik kendaraan/pasal 23 ayat 1 dan 2).

Pelanggaran-pelanggaran yang sering terjadi di lapangan pada saat penulis melakukan pengamatan adalah sebagai berikut:
1. Kendaraan parkir di lokasi yang tidak dibenarkan untuk parkir.
Pengemudi becak seringkali beralibi bahwa becak bukanlah kendaraan bermotor, sedangkan rambu-rambu lalu lintas hanya berlaku untuk kendaraan bermotor saja. Padahal menurut definisi kendaraan pada landasan teori menunjukkan bahwa becak juga merupakan benda yang dapat bergerak di jalan, jadi alibi yang selama ini dipertahankan oleh pengemudi becak tersebut adalah salah. Tanda “dilarang parkir” ini diletakkan dilokasi sekitar halte Trans Jogja dimaksudkan karena Trans Jogja adalah merupakan fasilitas transportasi umum yang mengharuskan tidak adanya parkir kendaraan di sekitar fasilitas transportasi umum tersebut, karena mengganggu kepentingan umum dan dapat meningkatkan resiko kecelakaan kendaraan yang diparkir itu sendiri.

2. Kendaraan parkir di trotoar sehingga merubah fungsi dari trotoar.
Juru parkir sering mengambil alternatif untuk menempatkan parkir kendaraan di trotoar. Dalam situasi ini, pihak yang paling bersalah adalah pemilik atau pengemudi kendaraan. Dalam Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 17 Tahun 2002 Tentang Penyelenggaraan Perparkiran pasal 21 ayat 2 dijelaskan bahwa setiap pemilik dan atau pengemudi kendaraan dilarang memarkir kendaraan di badan jalan yang tidak ditetapkan oleh walikota atau pejabat yang ditunjuk sebagai tempat parkir. Akan tetapi lahan parkir yang tepat berada di depan pusat perbelanjaan dan kegiatan ekonomi yang berarti kemudahan akses menuju pusat perbelanjaan tersebut, masih ditambah dengan kemudahan dalam pengambilan kendaraan menjadi magnet yang mampu menarik pemilik atau pengemudi kendaraan memarkir kendaraannya di tempat yang tidak dibenarkan untuk parkir walaupun sebenarnya di dalam pusat perbelanjaan tersebut terdapat gedung parkir yang memenuhi syarat kegiatan perparkiran daripada di trotoar jalan yang jelas-jelas menyalahi aturan.

3. Kehilangan dan kerusakan kendaraan serta perlengkapannya.
Ketakutan dari pemilik kendaraan akan resiko kehilangan atau kerusakan kendaraan serta perlengkapannya (terutama helm untuk kendaraan roda dua, dan kaca spion untuk kendaraan roda empat) membuat pemilik kendaraan lebih memilih memarkirkan kendaraannya lebih dekat dengan keberadaan pemilik (yang saat itu sedang berbelanja) walaupun pemilik kendaraan tersebut tahu bahwa daerah tempat kendaraan tersebut diparkir adalah daerah yang tidak dibenarkan untuk melakukan kegiatan parkir. Dalam Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 17 Tahun 2002 Tentang Penyelenggaraan Perparkiran pasal 17, disebutkan bahwa apabila terjadi kehilangan atau kerusakan kendaraan dan kelengkapannya pada saat jam parkir di tempat parkir di tepi jalan umum, yang disebabkan karena kelalaian juru parkir, maka juru parkir bertanggung jawab untuk mengganti 50% (lima puluh persen) dari kerugian tersebut. Jadi, dengan adanya jaminan yang seperti itu, seharusnya pemilik kendaraan merasa yakin bahwa kendaraan yang dipercayakan kepada juru parkir benar-benar aman, sehingga tidak perlu memarkirkan kendaraannya di tempat yang tidak dibenarkan.

4. Adanya juru parkir di kawasan yang tidak dibenarkan untuk parkir.
Kawasan yang tidak dibenarkan untuk dijadikan lahan parkir apabila kemudian dijadikan lahan parkir, maka pemilik kendaraan akan kehilangan hak-haknya sebagai konsumen jasa parkir itu sendiri, dan juru parkir (jika kebetulan ada), maka juru parkir dapat dibebaskan dari segala kewajibannya apabila terjadi kehilangan atau kerusakan pada kendaraan yang sedang diparkir pada daerah tersebut. Akan tetapi, timbul pertanyaan “dari instansi mana juru parkir di daerah ini? Kenapa juru parkir di daerah ini juga dibekali dengan seragam parkir layaknya juru parkir di daerah yang diijinkan untuk melaksanakan kegiatan parkir?”
Menurut hemat penulis, juru parkir tersebut adalah juru parkir liar, dan yang paling dirugikan adalah pemilik kendaraan dan pemerintah daerah kota Yogyakarta. Pemilik kendaraan dirugikan karena membayar retribusi parkir tapi tidak menerima jaminan keamanan kendaraan yang diparkirkan, sedangkan pemerintah daerah kota Yogyakarta dirugikan karena tidak mendapatkan setoran retribusi parkir dari kegiatan perparkiran yang dilakukan oleh juru parkir liar tersebut walaupun daerah tersebut adalah kawasan yang tidak diijinkan untuk parkir.

Senin, 10 Januari 2011

Kota Sejuta Reklame

Sumber gambar : kabarindonesia.com

Oleh : Benidiktus Susanto

Apabila kita berjalan-jalan di sepanjang jalan di pusat-pusat kota di Indonesia, sudah dapat dipastikan kita akan dapat menikmati pemandangan sejuta iklan yang "menghiasi" pusat kota tersebut. Para produsen berlomba-lomba memasang iklan di jalan.

Kadang kita tak peduli dengan maraknya papan reklame tersebut, sampai akhirnya musibah menimpa saudara-saudara kita akibat kejatuhan papan reklame. Kecelakaan akibat jatuhnya papan reklame mungkin sering kita dengar, tapi apakah hanya itu dampak pemasangan papan reklame yang seolah tak terkendali itu?

Menurut saya, pemasangan papan reklame di sepanjang jalan, baik yang membentang maupun yang berada di tepi jalan, harus mulai diatur dengan baik. Memang, jalan merupakan salah satu tempat yang paling strategis untuk memasang iklan. Setiap harinya berjuta orang melewati jalan raya, dan itu yang diharapkan oleh para pemasang iklan, semua orang akan melihat tampilan iklan yang dipasangnya. Selain itu salah satu sumber pendapatan daerah yang sangat besat adalah dari pemasangan papan-papan reklame ini.

Jalan raya pada hakekatnya adalah suatu prasarana untuk mengalirkan lalu lintas dan dibangun agar lalu lintas dapat mengalir dengan cepat, aman, dan nyaman. Para ahli jalan raya dan lalu lintas dengan susah payah memikirkan agar jalan raya tersebut dapat digunakan sebagaimana fungsinya, namun di sisi lain keberadaan jalan raya ini dimanfaatkan untuk mengambil keuntungan di luar fungsi jalan di atas. Disadari atau tidak, pemasangan papan-papan reklame justru dapat mengurangi fungsi jalan, antara lain :
  1. Papan reklame selalu diusahakan agar semenarik mungkin dan eye catching, sehingga orang-orang akan tertarik untuk memandang papan tersebut. Hal ini akan dapat membahayakan pengemudi, karena mungkin saja para pengemudi juga tertarik untuk melihat iklan tersebut dan mengurangi konsentrasi mengemudinya.
  2. Beberapa papan reklame dipasang sangat dekat dengan rambu, bahkan sampai menutup rambu pada jarak pandang rambu. Pengemudi akan cenderung melihat ke papan reklame yang indah daripada rambu yang seharusnya mereka perhatikan.
  3. Tiang-tiang papan reklame yang dipasang pada bahu-bahu jalan akan mengurangi kebebasan samping bagi para pengemudi, Jalan menjadi terkesan lebih sempit dan pengemudi akan mengurangi laju kendaraannya. Hal ini bertentangan dengan tujuan pembangunan jalan raya tersebut yaitu agar lalu lintas dapat mengalir dengan lancar.

Mungkin masih ada beberapa dampak yang mungkin dapat ditimbulkan dari pemasangan papan-papan reklame ini, namun beberapa hal yang saya ungkapkan di atas dapat menjdai perhatian agar para pemasang papan reklame juga memperhatikan keselamatan bagi para pengguna jalan raya.

Minggu, 09 Januari 2011

Masyarakat Tak Peduli LPI atau ISL

Liga Premier Indonesia (LPI) telah digelar Sabtu, 8 Januari 2011 kemarin di Stadion Manahan Solo. Tak kalah dengan ISL (Indonesia Super League), pertandingan perdana pada LPI yang mempertandingkan Persema dan Solo FC berlangsung dengan dihadiri oleh banyak penonton. Masyarakat tak peduli dengan permasalahan mengenai sah tidaknya kompetisi sepak bola ini. Polemik yang terjadi sekarang tidak mempengaruhi minat masyarakat untuk "menggilai" sepak bola. Yang dibutuhkan masyarakat adalah tontonan sepak bola yang berkualitas, bukan tontonan adu "saling menyalahkan" antara para pengurus persepakbolaan di Indonesia.

Jumat, 07 Januari 2011

Lombok yang Makin Pedas

Oleh : Benidiktus Susanto

Beberapa hari belakangan ini telinga saya terlalu sering mendengar komentar, keluhan, dan bemacam pendapat tentang lombok, bahkan berita dari salah satu stasiun televisi yang sempat saya dengar mengatakan bahwa laju inflasi di negara kita pada Bulan Desember tahun lalu dipicu oleh harga lombok. Harga lombok meroket, makin "pedas" saja. Banyak orang mengumpat, banyak orang "ngedumel" pada kenaikan harga lombok ini. "Edan tenan, rego lombok tekan satus sewu", komentar beberapa teman.

Saya teringat cerita salah seorang teman saya mengenai lombok ini, jauh sebelum harga lombok semeroket ini. Pada saat kami sarapan di sebuah hotel di Batam, dia bercerita tentang bagaimana saudara-saudara kita di negeri seberang sana mengkonsumsi lombok atau cabai ini. Saudara-saudara kita di sana jarang sekali mengkonsumsi lombok dalam keadaan segar. Di negara itu lombok banyak dijual dalam keadaan kering. Kebiasaan "nyeplus" lombok saat makan gorengan atau yang lainnya tidak ada di sana. Kata teman saya itu, pemerintah memang sengaja membuat pola konsumsi lombok dengan cara demikian.

Apa keuntungannya? Keuntungan yang diperoleh - saya kira akan dirasakan oleh semua pihak baik petani, pedagang, maupun konsumen - adalah harga lombok yang selalu stabil. Bila hasil panen berlimpah, harga tidak anjlok, bila hasil panen kurang baik harga juga tidak akan naik, karena yang mereka konsumsi adalah lombok kering.

Apakah kita dapat meniru pola konsumsi seperti yang dilakukan oleh saudara-saudara kita di seberang sana?