Rabu, 05 Januari 2022

Tilang Elektronik dan Peran Dinas Perhubungan

Oleh : Benidiktus Susanto

Menurut data Korps Lalu Lintas Polri tahun 2019, setiap jam terdapat 3 orang meninggal akibat kecelakaan lalu lintas. Mengapa ini dapat terjadi? Ada banyak faktor yang dapat menyebabkan kecelakaan lalu lintas. Sebagian besar penelitian menyatakan bahwa penyebab utama kecelakaan adalah faktor manusia (human factor) disamping fakkor lainya yaitu sarana (kendaraan) dan prasarana serta lingkungan.

Beberapa sumber menyatakan bahwa kecelakaan lalu lintas biasanya diawali dengan pelanggaran. Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE) atau tilang elektronik yang telah diterapkan sejak 23 Maret 2021 di sejumlah daerah di Indonesia merupakan satu langkah maju dalam meningkatkan budaya tertib lalu lintas, mengurangi jumlah pelanggaran. Rendahnya law enforcement selama ini menyebabkan pelanggaran lalu lintas masih tinggi. Harapannya ketertiban berlalu lintas tidak hanya terjadi pada titik-titik ber-ETLE saja melainkan akan manjadi kebiasaan bagi setiap pengguna jalan raya di mana saja mereka berlalu lintas.

Saat ini ETLE dikelola oleh Kepolisian RI. Ini merupakan tugas berat baru di kepolisian. Apakah identifikasi pelanggaran lalu lintas hanya dapat dilakukan oleh institusi kepolisian? Kalau kita lihat moda transportasi lain seperti pesawat udara, kapal laut maupun penyeberangan, kereta api, angkutan umum, dan angkutan barang peran Dinas Perhubungan sangat kelihatan. Sebagai contoh, Dinas Perhubungan juga melakukan penindakan di lapangan seperti pelanggaran parkir dan pelanggaran batas muatan. Semestinya identifikasi pelanggaran lalu lintas jalan raya lainnyapun dapat dilakukan atau dibantu oleh personil Dinas Perhubungan yang tentunnya akan memperingan tugas kepolisian.

Petugas kepolisian utamanya polisi lalu lintas dapat lebih fokus pada pengaturan dan penindakan pelanggaran lalu lintas di lapangan, sementara itu Dinas Perhubungan dapat berperan dalam penindakan melalui tilang elektronik. Petugas penindakan tidak perlu berhubungan langsung dengan pelanggar lalu lintas, cukup dengan bukti rekaman kamera ETLE. Selama ini kendala petugas Dinas Perhubungan dalam melakukan penindakan adalah karena meraka tidak memiliki “senjata”. Tidak dipungkiri bahwa masyarakat Indonesia masih segan dengan polisi yang nota bene “bersenjata”. Apabila ada petugas kepolisian bertugas di jalan raya, maka para pengemudi cenderung lebih tertib. Patung polisi yang masih berdiri tegap di banyak titik jalan raya merupakan salah satu bukti bahwa polisi lalu lintas masih disegani.  

Dinas Perhubungan sebagai institusi pemerintah yang salah satu tugasnya adalah menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang keselamatan jalan mestinya dapat diberi peran lebih dalam urusan tilang elektronik ini, karena tujuan utama dari program ini adalah keselamatan lalu lintas. Titik-titik ETLE yang mengindikasikan banyak pelanggaran harus mendapat perhatian lebih untuk dievaluasi. Hasil evaluasi bisa berupa perbaikan manajemen lalu lintas, perbaikan geometrik jalan, kampanye keselamatan lalu lintas, dan sebagainya. Ini merupakan tugas dari Dinas Perhubungan.

Data ETLE tidak hanya semata-mata digunakan untuk menentukan seorang pengemudi melakukan pelanggaran atau tidak, namun dapat pula digunakan untuk mengevaluasi apakah manajemen lalu lintas di titik tersebut sudah baik atau belum. Pengemudi yang melanggar bisa jadi disebabkan karena kurang baiknya manajemen lalu lintas, seperti tidak sesuainya fase APILL (Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas) dengan kebutuhan, rusaknya APILL yang seringkali tidak segera diperbaiki, rambu lalu lintas yang tidak terlihat dengan jelas, kapasitas simpang yang sudah terlalu tinggi, dan lain sebagainya.

Lalu lintas yang berkeselamatan dapat diwujudkan dengan perencanaan manajeman lalu lintas yang baik. Perencanaan manajeman lalu lintas yang menjadi tanggung jawab Dinas Perhubungan tentunya harus dievaluasi secara periodik setelah diimplementasikan, karena sifat lalu lintas yang dinamis. Hasil evaluasi akan digunakan untuk perbaikan. Salah satu tolok ukur yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan manajemen lalu lintas adalah meningkatnya keselamatan lalu lintas. Dengan peran Dinas Perhubungan diharapkan ETLE tidak hanya berfungsi untuk menindak pelanggaran lalu lintas, namun lebih dari itu yaitu untuk menjadikan bahan evaluasi untuk mewujudkan lalu lintas berkeselamatan.

Perguruan tinggi yang berkonsentrasi pada bidang transportasi darat di bawah Kementerian Perhubungan telah menghasilkan lulusan yang handal di bidang lalu lintas dan angkutan jalan raya. Sumber daya manusia ini harus dimaksimalkan untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga ahli di bidang lalu lintas dan angkutan jalan raya. Pemberian peran ini tidak semata-mata untuk mengambil alih wewenang penindakan oleh kepolisian, namun untuk mempermudah dalam proses evaluasi manajemen lalu lintas,

Masih Perlukah “Kawasan Tertib Lalu Lintas”?

Tertib dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti teratur, menurut aturan, rapi. Lalu Lintas menurut Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nomor 22 Tahun 2009 adalah gerak kendaraan dan orang di ruang lalu lintas jalan. Jadi, tertib lalu lintas dapat diartikan sebagai tuntutan untuk menurut aturan bagi seluruh kendaraan atau orang yang berada di ruang lalu lintas.

Saat ini tertib lalu lintas seharusnya sudah menjadi kewajiban bagi seluruh pengguna jalan, baik pengemudi kendaraan (bermotor maupun tidak bermotor), penumpang kendaraan, maupun pejalan kaki. Menurut penulis, agak aneh bila pada beberapa ruas jalan, masih dijumpai rambu yang bertuliskan “Anda Memasuki Kawasan Tertib Lalu Lintas”. Pesan itu dapat mengandung arti bahwa sebelum memasuki ruas jalan tersebut, seorang pengguna jalan melalui kawasan yang “bukan” Kawasan Tertib Lalu Lintas. Hal ini dapat diartikan pula bahwa seorang pengguna jalan tidak perlu mentaati peraturan lalu lintas pada kawasan yang bukan Kawasan Tertib Lalu Lintas. Kalau para pengguna jalan mengartikannya demikian, maka sungguh sangat berbahaya berlalu lintas di luar Kawasan Tertib Lalu Lintas.

Aturan yang mirip seperti ini pernah diterapkan pada awal mula pemerintah menggalakkan penggunaan helm bagi para pengemudi sepeda motor di Indonesia. Para pembaca mungkin masih ingat sekitar 30 tahun yang lalu di beberapa ruas jalan di Kota Yogyakarta ada rambu yang bertuliskan “Jalur Helm”. Apa yang terjadi saat itu? Ketika seorang pengemudi sepeda motor akan melalui jalur tersebut, maka mereka menyiapkan helm mulai dari rumah. Apabila mereka tidak akan melewati jalur tersebut, maka mereka tidak perlu “repot-repot” menyiapkan helmnya. Apakah helm itu dipakai mulai dari keberangkatan? Ternyata, waktu itu, tidak. Banyak alasan yang melatarbelakangi para pengguna sepeda motor “malas” menggunakan helm, mulai dari mahal, tatanan rambut rusak, panas, dan seribu satu alasan lainnya. Seiring perjalanan waktu dan makin seringnya penertiban yang dilakukan oleh aparat Kepolisian saat itu, maka pengguna sepeda motor akhirnya menjadi terbiasa dengan penggunaan helm.

Penggunaan sabuk pengaman bagi pengendara dan penumpang mobil juga mengalami hal yang serupa. Mungkin para pembaca juga sering mengalami ketika duduk di sebelah pengemudi dan melewati simpang Candi Prambanan. Si pengemudi sering mengingatkan untuk memakai sabuk pengaman, karena pada lokasi tersebut sering dilakukan “operasi” penggunaan sabuk pengaman. Kembali timbul pertanyaan, apakah di ruas jalan lain “boleh” tidak menggunakan sabuk pengaman?

Apakah Tertib Lalu Lintas secara umum juga akan dilakukan dengan model seperti ini? Menurut pendapat penulis, sebaiknya tidak. Tertib lalu lintas adalah suatu keharusan, tidak perlu ditawar-tawar lagi mana kawasan yang harus tertib dan mana kawasan yang boleh tidak tertib. Semua jalan raya adalah kawasan tertib lalu lintas. Mengapa demikian? Karena tertib lalu lintas bukan hanya masalah keselamatan pribadi, melainkan juga keselamatan orang lain.

Membiasakan diri untuk tertib di jalan raya perlu selalu dilakukan. Budaya malu ketika melanggar atau tidak tertib di jalan raya mestinya harus kian tumbuh, bukan malah budaya bangga ketika bisa melanggar peraturan. Belajar dari pengalaman penertiban penggunaan helm bagi pengendara sepeda motor, penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat kepolisian atas pelanggaran yang dilakukan di jalan raya, menurut pengamatan penulis, akan menjadi obat yang mujarab untuk menertibkan semua pengguna jalan raya. Saat ini ketika orang naik sepeda motor yang paling diingat adalah apakah sudah memakai helm atau belum, bukan ada kaca spionnya atau lampunya mati, atau membawa kelengkapan surat. Semoga ini juga akan dilanjutkan dengan penegakan hukum atas jenis pelanggaran yang lain, sehingga komponen keselamatan dan ketertiban lalu lintas yang lain akan juga selalu diingat ketika seseorang akan mulai menggunakan jalan raya.

Mari kita menjadi pelopor keselamatan lalu lintas. Selamat untuk diri sendiri maupun orang lain. Jadikan semua jalan raya adalah “KAWASAN TERTIB LALU LINTAS”.

Sepeda Pascapandemi

Pandemi Covid-19 di Indonesia sudah berlangsung lebih dari setahun. Banyak perubahan dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Salah satu perubahan yang mencolok dan dapat dilihat dengan nyata adalah meningkatnya kegiatan bersepeda. Penulis meyakini bahwa setelah pandemi ini berakhir, hobi bersepeda tidak akan surut. Hal ini diperkuat dengan munculnya komunitas-komunitas bersepeda baru yang secara rutin mengadakan kegiatan bersepeda bersama dan semakin larisnya sepeda yang melebihi harga sepeda motor bahkan sampai dengan harga selangit untuk ukuran sepeda. Sayang sekali kalau sepeda itu kemudian hanya diparkir di rumah setelah pandemi berakhir. Hobi bersepeda di masa pendemi ini dapat menjadi momentum untuk menggalakkan penggunaan sepeda dalam menunjang aktivitas sehari-hari pascapandemi. Oleh karena ini, saat ini perlu mulai dipikirkan dan disiapkan fasilitas-fasiltas bagi penggemar sepeda agar hobi ini nantinya dapat ditingkatkan menjadi kebiasaan baru dalam memenuhi kebutuhan transportasi.

Penyediaan fasilitas untuk pesepeda berupa jalur khusus sepeda memang sangat ideal apabila dapat direalisasikan, namun dengan kondisi lalu lintas dan jalan raya di banyak kota di Indonesia, cukup sulit untuk merealisasikannya. Selain itu, selama ini jalan raya dibangun dengan mengikuti standar perencanaan jalan raya untuk kendaraan bermotor dan tidak

Banyak keuntungan yang akan diperoleh apabila masyarakat mau berganti moda dari kendaraan bermotor ke sepeda. Permasalahan yang ditimbulkan akibat transportasi seperti polusi udara, polusi suara, penggunaan BBM, kebutuhan ruang parkir dan masih banyak lagi akan dapat dikurangi. Yang tidak kalah penting lagi adalah terjaganya kesehatan bagi penggunanya.

Kebiasaan bersepeda menuju dan dari tempat beraktivitas sehari-hari akan meningkat apabila tersedia fasilitas yang memadai. Fasilitas bagi para pesepeda dapat dimulai dari hal yang paling mungkin dilakukan. Ruang parkir sepeda yang nyaman dan aman pada setiap pusat kegiatan akan menjadi syarat utama. Umumnya sepeda sangat mudah untuk dibawa ke mana-mana, bahkan dengan satu tanganpun sepeda akan mudah dijinjing, termasuk oleh pencuri. Untuk itu, perlu inovasi tempat parkir (menyimpan) sepeda di tempat-tempat umum. Loker sepeda pada pusat-pusat kegiatan mungkin dapat menjadi salah satu alternatif. Hal ini dapat dimulai pada instansi-instansi pemerintah maupun kantor-kantor swasta yang karyawannya tidak banyak melakukan kegiatan di luar kantor.

Untuk sekolah, penyediaan fasilitas bagi para pesepeda relatif lebih mudah, karena siswa masuk dan pulang pada jam yang bersamaan. Penerimaan siswa baru dengan sistem zonasi sangat mendukung program penggunaan sepeda. Dengan sistem ini siswa suatu sekolah diprioritaskan berasal dari sekitar sekolah tersebut atau hanya beberapa kilometer saja dari sekolah. Jarak ini sangat mungkin ditempuh dengan sepeda.

Selain fasilitas, usaha menggalakkan penggunaan sepeda perlu dibarengi dengan usaha meningkatkan keamanan bersepeda. Selama ini, banyak orang menganggap bahwa bersepeda adalah suatu hal yang sepele. Apabila sepeda sudah digunakan di jalan raya, maka sebenarnya mengendarai sepeda bukan hanya sekedar menyeimbangkan dan mengayuh sepeda, namun sangat perlu untuk menguasai tata cara berkendara di jalan raya dengan baik dan benar.

Pesepeda yang sebelumnya sudah sering menggunakan sepeda motor dan memiliki Surat Izin Mengemudi mungkin merasakan hal ini tidak begitu bermasalah, meskipun sebenarnya juga terdapat beberapa perbedaan yang sangat berarti. Akselerasi, kemapuan pengereman, kestabilan kendaraan, perlengkapan kendaraan seperti kaca spion dan lampu sein adalah beberapa perbedaan akan sangat mempengaruhi perilaku bersepeda. Pengenalan terhadap karakteristik sepeda menjadi sesuatu yang sangat penting sebelum pesepeda memutuskan untuk berkendara di jalan raya.

Kampanye selamat bersepeda perlu terus dilakukan guna menciptakan lalu lintas yang selamat. Pemerintah juga memakai momentum booming sepeda untuk mengeluarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 59 Tahun 2020 tentang Keselamatan Pesepeda di Jalan. Masa pandemi ini bisa menjadi waktu yang sangat tepat untuk mengampanyekan penggunaan sepeda yang selamat. Penggunaan media sosial sangat mungkin menjadi alternatif media kampanye yang paling efektif saat ini.

Harapan kita semua bahwa pandemi ini akan segera berakhir, namun hobi bersepeda harus terus dijaga jangan sampai surut. Suatu momentum yang sangat berharga di tengah pandemi untuk menciptakan kebiasaan baru bersepeda pascapandemi, bersepeda untuk sekolah dan bekerja.


Kamis, 31 Januari 2013

Tanggung Jawab atas Gangguan Lalu Lintas

Oleh :
Benidiktus Susanto

Peningkatan volume lalu lintas akibat adanya pusat kegiatan baru memang tidak dapat dielakkan. Maraknya pembangunan hotel dan pusat perbelanjaan di Yogyakarta juga tidak akan luput dari potensi meningkatnya volume lalu lintas, khususnya pada ruas jalan dimana pusat kegiatan itu berada.

Titik-titik kemacetan semakin bertambah, terlebih pada hari-hari libur. Di daerah Malioboro misalnya, kemacetan parah terjadi pada titik di depan salah satu mall dan hotel di sana. Di Jalan Solo/Adisuciptopun demikian adanya. Antrian (sangat) panjang kendaraan menuju mall tersebut tampak seperti ular tiada putusnya.

Bagaimana dengan pengguna jalan lain, yang tidak punya kepentingan dengan pusat-pusat kegiatan tersebut? Mereka juga harus menanggungnya. Bermenit-menit harus mereka buang hanya untuk “ikut” mengantri, yang mereka sendiri mungkin tidak menikmati keberadaan pusat-pusat perbelanjaan tersebut.

Waktu hilang, kecelakaan, polusi udara, stres, dan bahan bakar yang terbuang percuma adalah sederet kerugian yang harus dikeluarkan akibat kemacetan lalu lintas. Secara individu mungkin nilainya relatif kecil, namun apabila diakumulasikan untuk semua kendaraan (dan orang yang ada di dalam kendaraan tersebut), yang ikut terjebak dalam kemacetan, jumlahnya bisa berlipat ganda, bahkan mungkin ada yang tidak bisa terbeli. Belum lagi apabila ada ambulance atau kendaraan pemadam kebakaran yang membutuhkan kelancaran lalu lintas.

Lalu, bagaimana tanggung jawab pemilik pusat-pusat perbelanjaan tersebut atas gangguan dan ketidaknyamanan masyarakat pengguna jalan lainnya tersebut?

Selama ini belum tampak usaha-usaha nyata dari para pengelola untuk mengurangi “derita” tersebut. Beban seolah menjadi tanggung jawab polisi pengatur lalu lintas, pengelola jalan, atau pemerintah.

Gangguan lalu lintas akibat adanya kegiatan yang dijalankan mestinya juga menjadi tanggung jawab penyelenggara kegiatan. Kepedulian pengelola kegiatan sangat diharapkan untuk paling tidak meminimalkan gangguan yang ada saat ini.

Beberapa usaha yang dapat dilakukan pengelola kegiatan adalah:
1.     menurunkan petugas untuk membantu kelancaran lalu lintas di ruas jalan, bukan hanya kelancaran kendaraan yang akan masuk pusat perbelanjaan tersebut dan tidak hanya mengandalkan polisi lalu lintas yang jumlah personilnya sangat terbatas,
2.     membuat fasilitas (terutama luasan) parkir yang cukup, hal ini mestinya dibuat dalam tahap perencanaan,
3.     membuat sistem keluar masuk area parkir yang efisien, dapat berupa pembenahan geometrik jalan menuju lokasi parkir, sistem karcis, jumlah loket, jumlah petugas, dan sebagainya, sehingga akses keluar masuk area parkir menjadi lancar,
4.     memberi informasi yang jelas atas ketersediaan ruang parkir, sehingga kendaraan yang akan memasuki area pusat perbelanjaan segera dapat memutuskan apakah tetap mengantri atau harus segera meninggalkan antrian karena sudah tidak tersedia ruang parkir baginya,
5.     membagi jam puncak dengan memberikan fasilitas (dapat berupa diskon, dan sebagainya) pada jam-jam tidak sibuk, sehingga pelanggan akan mengubah waktu kunjungannya karena mendapat keuntungan yang lebih besar pada jam-jam tidak sibuk,
6.     membuat perencanaan yang lebih matang, terutama dalam memperkirakan (proyeksi) pertumbuhan  bangkitan lalu lintas di masa yang akan datang,
7.     dan masih banyak usaha lainnya yang dapat dilakukan.

Dari sisi pemerintah, gangguan lalu lintas ini mestinya juga harus mendapat perhatian serius. Tugas pemerintah dalam hal ini adalah dalam pemberian ijin pembangunan. Sesuai dengan peraturan yang mewajibkan setiap pengembangan kawasan yang berpotensi menimbulkan dampak besar dan penting wajib melakukan analisis mengenai dampak lalu lintas, maka tugas pemerintah adalah menilai (dengan sungguh-sungguh) setiap pengembangan kawasan baru.

Pada intinya, Analisis Dampak Lalu Lintas atau biasa disebut ANDALALIN bertujuan untuk dapat mengantisipasi dampak yang ditimbulkan  oleh suatu kawasan pengembangan terhadap lalu lintas di sekitarnya. Kewajiban melakukan studi ANDALALIN ini tergantung pada “bangkitan lalu lintas” yang ditimbulkan oleh pengembangan kawasan. Besarnya tingkat bangkitan lalu lintas tersebut ditentukan oleh jenis dan besaran peruntukan lahan.

Permasalahan yang terjadi saat ini sangat dimungkinkan akibat kurang ketatnya pemerintah dalam penilaian dan pemberian ijin terhadap usulan pengembangan kawasan yang baru, meskipun banyak faktor lain antara lain: pertumbuhan jumlah kepemilikan kendaraan bermotor yang tidak terkendali, minimnya fsilitas angkutan umum, kesadaran akan tertib lalu lintas, dan sebagainya.

Tanggung jawab semua pihak, terutama pihak-pihak yang mendapat keuntungan atas pengembangan suatu kawasan, atas gangguan lalu lintas yang ditimbulkannya sangat diharapkan guna terciptanya kawasasn yang semakin berkembang dengan lalu lintas yang lancar.

Ferrari Dahlan Iskan

Surat kabar dan televisi akhir-akhir ini dipenuhi dengan berita mengenai tragedi Ferrari Dahlan Iskan. Wawancara dengan berbagai pihak untuk mencari pendapat atas musibah tersebut seolah hanya berujung mencari kesalahan, bahkan para politisi ikut angkat bicara. Sungguh, energi kita habis hanya untuk mencari kesalahan, dan bukannya mencari pelajaran berharga atas musibah ini.

Dahlan Iskan dalam suatu wawancara dengan salah satu televisi nasional bahkan sudah berulang-ulang mengakui kesalahannya, namun pewawancara mengulang dan terus mengulang pertanyaan mengenai apakah Pak Dahlan menyadari bahwa telah berbuat kesalahan. Berulang kali pula Dahlan Iskan menyatakan mengakui kesalahannya bahkan menyatakan apakah perlu mencium kaki pewawancara untuk mengakui kesalahannya. Dalam wawancara itu seolah pewawancara hanya ingin menegaskan bahwa Dahlan Iskan bersalah.

Mengapa jarang yang melihat kejadian ini sebagai suatu pelajaran yang sangat berharga, bukan dari kesalahan Dahlan, melainkan dari keberaniannya untuk melakukan perubahan demi kemajuan bangsa. Kesalahan proses (prosedur) uji coba mobil bukanlah suatu hal yang perlu terus didengungkan, sementara kasus korupsi yang jelas-jelas sangat merugikan rakyat seolah dibungkam.

Gebrakan Dahlan Iskan dalam berbagai sektor, termasuk gagasan untuk memproduksi mobil listrik, patut diacungi jempol. Gagasan dan semangat untuk mengabdikan diri bagi bangsa dan negara dari seorang Dahlan bahkan sering mendapat hambatan.

Ide membuat mobil listrik memang bukan ide baru, sebelumnya sudah ada mobil Ahmadi dan mobil-mobil listrik karya anak bangsa lainnya, namun figur seorang tokoh seperti Dahlan Iskan sangat diperlukan untuk meyakinkan masyarakat, yang saat ini sudah mulai berkurang kepercayaannya terhadap pemerintah, untuk mempromosikan mobil listrik ini.

Mobil listrik merupakan jenis kendaraan masa depan. Di tengah semakin berkurangnya cadangan minyak bumi, maka penggunaan listrik sebagai sumber energi adalah pilihan terbaik. Selain dapat dibuat, penggunakaan listrik sebagai sumber energi untuk menggantikan bahan bakar minyak mempunyai banyak keuntungan. Yang tampak nyata adalah pengurangan polusi udara dan suara yang dihasilkan oleh kendaraan. Memang, masih banyak kekurangan dari mobil ini saat ini. Iinfrastruktur untuk penyediaan fasilitas pengisian energi listrik untuk kendaraan belum tersedia dan harga per unit kendaraannyapun masih jauh lebih tinggi daripada kendaraan berbahan bakar minyak. Hal ini disebabkan karena kendaraan ini belum diproduksi secara massal. Nantinya, apabila masyarakat sudah banyak yang menggunakannya pastilah harganya akan semakin murah, bahkan bisa jauh lebih murah dari kendaraan berbahan bakar minyak.

Penggunaan listrik sebagai sumber energi kendaraan sudah mulai digunakan beberapa puluh tahun yang lalu. Di Indonesia kereta listrik mulai digunakan tahun 1925, namun sekitar tahun 1960-an sempat mandeg dan bangkit lagi pada tahun 1976 dengan mendatangkan kereta listrik bekas dari Jepang. Kereta-kereta cepat yang sekarang banyak dikembangkan sebagian besar juga menggunakan tenaga listrik.

Sementara itu, industri mobil listrik di negara lain sudah jauh dikembangkan dan digunakan sebagai moda transportasi menggantikan mobil berbahan bakar minyak. Menurut salah satu sumber, sampai bulan Novemver 2011, mobil listrik yang tersedia dan dijual di pasaran beberapa negara adalah Tesla Roadster, REVAi, Renault Fluence Z.E., Buddy, Mitsubishi i MiEV, Tazzari Zero, Nissan Leaf, Smart ED, Wheego Whip LiFe, Mia listrik, dan BYD e6, bahkan Nissan Leaf telah terjual lebih dari 20.000 unit di seluruh dunia (sampai November 2011) dan Mitsubishi i-MiEV dengan penjualan global lebih dari 17.000 unit (sampai Oktober 2011).

Sudah begitu banyak negara lain yang mengembangkan mobil listriknya, yang tentunya juga sarat dengan kendala dan kesalahan. Mereka berhasil tentunya karena dukungan dari pemerintah dan masyarakatnya. Apakah Ferrari Dahlan Iskan cukup berhenti sampai di sini? Apakah kita akan hanya terjebak pada peraturan, sementara itu negara lain sudah semakin begitu pesat meninggalkan kita?

Selasa, 11 Januari 2011

Pelanggaran Parkir di Yogyakarta

Oleh : Ryoichiro Amran Gultom
Ditulis dalam Tugas Mata Kuliah Manajemen Lalu Lintas
Program Studi Teknik Sipil Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Pelaksanaan kegiatan parkir yang terjadi di Yogyakarta sebenarnya memiliki landasan hukum yang kuat, dan diatur dalam Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 17 Tahun 2002 Tentang Penyelenggaraan Perparkiran. Akan tetapi pada pelaksanaan yang terjadi di lapangan masih sering terjadi pelanggaran yang sebenarnya dapat dihindarkan apabila ada pengawasan dari pihak-pihak yang berwenang (baik tim independen maupun utusan dari tim Penyidik Pegawai Negeri Sipil/PPNS Pemerintah Daerah Yogyakarta), dan adanya kesadaran dari komponen-komponen jasa parkir itu sendiri yang meliputi: pengguna jasa parkir, petugas/juru parkir, dan tentu saja pemerintah daerah Yogyakarta itu sendiri.

Sanksi yang diberikan dalam kegiatan perparkiran acapkali hanya berupa teguran kepada pemilik kendaraan maupun kepada petugas/juru parkir yang melanggar. Pihak pemerintah daerah kota Yogyakarta jarang menjadi pihak yang disalahkan apabila terjadi pelanggaran di lapangan, karena pihak pemerintah daerah kota Yogyakarta seolah-olah hanya bertugas mengurusi pemungutan retribusinya saja, tanpa mengawasi dan mengecek kegiatan perparkiran tersebut secara langsung di lapangan.

Sanksi-sanksi yang diberikan apabila terdapat pelanggaran oleh masing-masing pihak di lapangan berdasarkan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 17 Tahun 2002 Tentang Penyelenggaraan Perparkiran yaitu: Surat tugasnya dicabut (bagi juru parkir/pasal 7), dan kendaraan diderek kemudian dipindahkan ke suatu tempat yang telah ditetapkan oleh walikota dan biaya penderekan juga resiko akibat penderekan tersebut menjadi beban dan tanggung jawab bagi pemilik kendaraan yang kendaraannya diderek (bagi pemilik kendaraan/pasal 23 ayat 1 dan 2).

Pelanggaran-pelanggaran yang sering terjadi di lapangan pada saat penulis melakukan pengamatan adalah sebagai berikut:
1. Kendaraan parkir di lokasi yang tidak dibenarkan untuk parkir.
Pengemudi becak seringkali beralibi bahwa becak bukanlah kendaraan bermotor, sedangkan rambu-rambu lalu lintas hanya berlaku untuk kendaraan bermotor saja. Padahal menurut definisi kendaraan pada landasan teori menunjukkan bahwa becak juga merupakan benda yang dapat bergerak di jalan, jadi alibi yang selama ini dipertahankan oleh pengemudi becak tersebut adalah salah. Tanda “dilarang parkir” ini diletakkan dilokasi sekitar halte Trans Jogja dimaksudkan karena Trans Jogja adalah merupakan fasilitas transportasi umum yang mengharuskan tidak adanya parkir kendaraan di sekitar fasilitas transportasi umum tersebut, karena mengganggu kepentingan umum dan dapat meningkatkan resiko kecelakaan kendaraan yang diparkir itu sendiri.

2. Kendaraan parkir di trotoar sehingga merubah fungsi dari trotoar.
Juru parkir sering mengambil alternatif untuk menempatkan parkir kendaraan di trotoar. Dalam situasi ini, pihak yang paling bersalah adalah pemilik atau pengemudi kendaraan. Dalam Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 17 Tahun 2002 Tentang Penyelenggaraan Perparkiran pasal 21 ayat 2 dijelaskan bahwa setiap pemilik dan atau pengemudi kendaraan dilarang memarkir kendaraan di badan jalan yang tidak ditetapkan oleh walikota atau pejabat yang ditunjuk sebagai tempat parkir. Akan tetapi lahan parkir yang tepat berada di depan pusat perbelanjaan dan kegiatan ekonomi yang berarti kemudahan akses menuju pusat perbelanjaan tersebut, masih ditambah dengan kemudahan dalam pengambilan kendaraan menjadi magnet yang mampu menarik pemilik atau pengemudi kendaraan memarkir kendaraannya di tempat yang tidak dibenarkan untuk parkir walaupun sebenarnya di dalam pusat perbelanjaan tersebut terdapat gedung parkir yang memenuhi syarat kegiatan perparkiran daripada di trotoar jalan yang jelas-jelas menyalahi aturan.

3. Kehilangan dan kerusakan kendaraan serta perlengkapannya.
Ketakutan dari pemilik kendaraan akan resiko kehilangan atau kerusakan kendaraan serta perlengkapannya (terutama helm untuk kendaraan roda dua, dan kaca spion untuk kendaraan roda empat) membuat pemilik kendaraan lebih memilih memarkirkan kendaraannya lebih dekat dengan keberadaan pemilik (yang saat itu sedang berbelanja) walaupun pemilik kendaraan tersebut tahu bahwa daerah tempat kendaraan tersebut diparkir adalah daerah yang tidak dibenarkan untuk melakukan kegiatan parkir. Dalam Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 17 Tahun 2002 Tentang Penyelenggaraan Perparkiran pasal 17, disebutkan bahwa apabila terjadi kehilangan atau kerusakan kendaraan dan kelengkapannya pada saat jam parkir di tempat parkir di tepi jalan umum, yang disebabkan karena kelalaian juru parkir, maka juru parkir bertanggung jawab untuk mengganti 50% (lima puluh persen) dari kerugian tersebut. Jadi, dengan adanya jaminan yang seperti itu, seharusnya pemilik kendaraan merasa yakin bahwa kendaraan yang dipercayakan kepada juru parkir benar-benar aman, sehingga tidak perlu memarkirkan kendaraannya di tempat yang tidak dibenarkan.

4. Adanya juru parkir di kawasan yang tidak dibenarkan untuk parkir.
Kawasan yang tidak dibenarkan untuk dijadikan lahan parkir apabila kemudian dijadikan lahan parkir, maka pemilik kendaraan akan kehilangan hak-haknya sebagai konsumen jasa parkir itu sendiri, dan juru parkir (jika kebetulan ada), maka juru parkir dapat dibebaskan dari segala kewajibannya apabila terjadi kehilangan atau kerusakan pada kendaraan yang sedang diparkir pada daerah tersebut. Akan tetapi, timbul pertanyaan “dari instansi mana juru parkir di daerah ini? Kenapa juru parkir di daerah ini juga dibekali dengan seragam parkir layaknya juru parkir di daerah yang diijinkan untuk melaksanakan kegiatan parkir?”
Menurut hemat penulis, juru parkir tersebut adalah juru parkir liar, dan yang paling dirugikan adalah pemilik kendaraan dan pemerintah daerah kota Yogyakarta. Pemilik kendaraan dirugikan karena membayar retribusi parkir tapi tidak menerima jaminan keamanan kendaraan yang diparkirkan, sedangkan pemerintah daerah kota Yogyakarta dirugikan karena tidak mendapatkan setoran retribusi parkir dari kegiatan perparkiran yang dilakukan oleh juru parkir liar tersebut walaupun daerah tersebut adalah kawasan yang tidak diijinkan untuk parkir.

Senin, 10 Januari 2011

Kota Sejuta Reklame

Sumber gambar : kabarindonesia.com

Oleh : Benidiktus Susanto

Apabila kita berjalan-jalan di sepanjang jalan di pusat-pusat kota di Indonesia, sudah dapat dipastikan kita akan dapat menikmati pemandangan sejuta iklan yang "menghiasi" pusat kota tersebut. Para produsen berlomba-lomba memasang iklan di jalan.

Kadang kita tak peduli dengan maraknya papan reklame tersebut, sampai akhirnya musibah menimpa saudara-saudara kita akibat kejatuhan papan reklame. Kecelakaan akibat jatuhnya papan reklame mungkin sering kita dengar, tapi apakah hanya itu dampak pemasangan papan reklame yang seolah tak terkendali itu?

Menurut saya, pemasangan papan reklame di sepanjang jalan, baik yang membentang maupun yang berada di tepi jalan, harus mulai diatur dengan baik. Memang, jalan merupakan salah satu tempat yang paling strategis untuk memasang iklan. Setiap harinya berjuta orang melewati jalan raya, dan itu yang diharapkan oleh para pemasang iklan, semua orang akan melihat tampilan iklan yang dipasangnya. Selain itu salah satu sumber pendapatan daerah yang sangat besat adalah dari pemasangan papan-papan reklame ini.

Jalan raya pada hakekatnya adalah suatu prasarana untuk mengalirkan lalu lintas dan dibangun agar lalu lintas dapat mengalir dengan cepat, aman, dan nyaman. Para ahli jalan raya dan lalu lintas dengan susah payah memikirkan agar jalan raya tersebut dapat digunakan sebagaimana fungsinya, namun di sisi lain keberadaan jalan raya ini dimanfaatkan untuk mengambil keuntungan di luar fungsi jalan di atas. Disadari atau tidak, pemasangan papan-papan reklame justru dapat mengurangi fungsi jalan, antara lain :
  1. Papan reklame selalu diusahakan agar semenarik mungkin dan eye catching, sehingga orang-orang akan tertarik untuk memandang papan tersebut. Hal ini akan dapat membahayakan pengemudi, karena mungkin saja para pengemudi juga tertarik untuk melihat iklan tersebut dan mengurangi konsentrasi mengemudinya.
  2. Beberapa papan reklame dipasang sangat dekat dengan rambu, bahkan sampai menutup rambu pada jarak pandang rambu. Pengemudi akan cenderung melihat ke papan reklame yang indah daripada rambu yang seharusnya mereka perhatikan.
  3. Tiang-tiang papan reklame yang dipasang pada bahu-bahu jalan akan mengurangi kebebasan samping bagi para pengemudi, Jalan menjadi terkesan lebih sempit dan pengemudi akan mengurangi laju kendaraannya. Hal ini bertentangan dengan tujuan pembangunan jalan raya tersebut yaitu agar lalu lintas dapat mengalir dengan lancar.

Mungkin masih ada beberapa dampak yang mungkin dapat ditimbulkan dari pemasangan papan-papan reklame ini, namun beberapa hal yang saya ungkapkan di atas dapat menjdai perhatian agar para pemasang papan reklame juga memperhatikan keselamatan bagi para pengguna jalan raya.

Minggu, 09 Januari 2011

Masyarakat Tak Peduli LPI atau ISL

Liga Premier Indonesia (LPI) telah digelar Sabtu, 8 Januari 2011 kemarin di Stadion Manahan Solo. Tak kalah dengan ISL (Indonesia Super League), pertandingan perdana pada LPI yang mempertandingkan Persema dan Solo FC berlangsung dengan dihadiri oleh banyak penonton. Masyarakat tak peduli dengan permasalahan mengenai sah tidaknya kompetisi sepak bola ini. Polemik yang terjadi sekarang tidak mempengaruhi minat masyarakat untuk "menggilai" sepak bola. Yang dibutuhkan masyarakat adalah tontonan sepak bola yang berkualitas, bukan tontonan adu "saling menyalahkan" antara para pengurus persepakbolaan di Indonesia.

Jumat, 07 Januari 2011

Lombok yang Makin Pedas

Oleh : Benidiktus Susanto

Beberapa hari belakangan ini telinga saya terlalu sering mendengar komentar, keluhan, dan bemacam pendapat tentang lombok, bahkan berita dari salah satu stasiun televisi yang sempat saya dengar mengatakan bahwa laju inflasi di negara kita pada Bulan Desember tahun lalu dipicu oleh harga lombok. Harga lombok meroket, makin "pedas" saja. Banyak orang mengumpat, banyak orang "ngedumel" pada kenaikan harga lombok ini. "Edan tenan, rego lombok tekan satus sewu", komentar beberapa teman.

Saya teringat cerita salah seorang teman saya mengenai lombok ini, jauh sebelum harga lombok semeroket ini. Pada saat kami sarapan di sebuah hotel di Batam, dia bercerita tentang bagaimana saudara-saudara kita di negeri seberang sana mengkonsumsi lombok atau cabai ini. Saudara-saudara kita di sana jarang sekali mengkonsumsi lombok dalam keadaan segar. Di negara itu lombok banyak dijual dalam keadaan kering. Kebiasaan "nyeplus" lombok saat makan gorengan atau yang lainnya tidak ada di sana. Kata teman saya itu, pemerintah memang sengaja membuat pola konsumsi lombok dengan cara demikian.

Apa keuntungannya? Keuntungan yang diperoleh - saya kira akan dirasakan oleh semua pihak baik petani, pedagang, maupun konsumen - adalah harga lombok yang selalu stabil. Bila hasil panen berlimpah, harga tidak anjlok, bila hasil panen kurang baik harga juga tidak akan naik, karena yang mereka konsumsi adalah lombok kering.

Apakah kita dapat meniru pola konsumsi seperti yang dilakukan oleh saudara-saudara kita di seberang sana?

Selasa, 21 Desember 2010

Rambu Lalu Lintas

Secara umum, pengertian rambu-rambu adalah salah satu alat perlengkapan jalan dalam bentuk tertentu yang memuat lambang, huruf, angka, kalimat dan/atau perpaduan diantaranya, yang digunakan untuk memberikan peringatan, larangan, perintah, dan petunjuk bagi pemakai jalan.

Berdasarkan jenis pesan yang disampaikan, rambu lalu lintas dapat dikelompokkan menjadi rambu-rambu sebagai berikut :

Rambu peringatan.
Rambu yang memperingatkan adanya bahaya agar para pengemudi berhati-hati dalam menjalankan kendaraannya. Misalnya: Rambu yang menunjukkan adanya lintasan kereta api, atau adanya simpangan berbahaya bagi para pengemudi.

Rambu Petunjuk.
Rambu yang memberikan petunjuk atau keterangan kepada pengemudi atau pemakai jalan lainnya, tentang arah yang harus ditempuh atau letak kota yang akan dituju lengkap dengan nama dan arah letak itu berada.

Rambu larangan dan perintah.
Rambu ini untuk melarang/memerintah semua jenis lalu lintas tertentu untuk memakai jalan, jurusan atau tempat-tempat tertentu, misalnya rambu dilarang berhenti, kendaraan harus lewat jalur tertentu, dan semua kendaraan dilarang lewat.

Pengenalan mengenai rambu lalu lintas bagi setiap pengguna jalan sangat diperlukan guna terciptanya lalu lintas yang aman. Berikut ini adalah gambar rambu-rambu lalu lintas.
Klik di sini PM 13 Tahun 2014.

EFEKTIVITAS COUNTDOWN TIMER PADA SIMPANG BER-APILL

Oleh : Benidiktus Susanto dan Yohanes Jarot Santoso


ABSTRAK

Countdown timer adalah alat untuk menampilkan lamanya waktu merah dan hijau pada alat pemberi isyarat lalu lintas (APILL) dan biasanya dipasang berdampingan dengan lampu APILL. Alat ini memungkinkan pemakai jalan (pengendara) dapat melihat waktu sinyal merah dan hijau, sehingga para pengendara dapat melakukan persiapan lebih awal untuk bergerak pada saat lampu hijau mulai menyala. Dengan persiapan tersebut, kehilangan awal yang sering terjadi pada simpang ber-APILL pada umumnya diharapkan akan dapat berkurang. Penelitian dilakukan dengan membandingkan kehilangan awal yang terjadi pada simpang ber-APILL yang dilengkapi dengan countdown timer dan simpang ber-APILL tanpa countdown timer di Yogyakarta dan dibedakan untuk jalan dalam kota dan luar kota. Pengambilan data kehilangan awal dilakukan dengan cara mencatat waktu mulai bergerak setiap kendaraan pada baris terdepan di belakang stop line saat lampu hijau akan mulai menyala terhadap waktu mulai nyala hijau pada lengan simpang yang menggunakan countdown timer dan tanpa countdown timer . Hasil penelitian menunjukkan kehilangan awal rata-rata dapat berkurang sekitar satu detik per kendaraan, baik pada jalan dalam kota maupun jalan luar kota, sehingga dapat disimpulkan bahwa penggunaan countdown timer dapat meningkatkan efektivitas simpang ber-APILL. Untuk lebih meningkatkan efektivitas, penempatan countdown timer perlu diupayakan agar lebih mudah untuk dilihat terutama bagi pengendara yang berada pada barisan terdepan.

Kata kunci : countdown timer, simpang, APILL, kehilangan awal, efektivitas

Plastik sebagai Bahan Tambah pada Aspal

Tingginya temperatur permukaan jalan, curah hujan dan beban lalu lintas merupakan beberapa penyebab kerusakan pada perkerasan aspal di Indonesia. Ada banyak usaha dilakukan untuk mengurangi kerusakan ini dan salah satunya adalah dengan memperkenalkan bahan tambah pada aspal untuk merubah sifat-sifat fisik aspal khususnya kepekaan terhadap temperatur dan pengelupasan, dan jika dicampur dengan agregat akan menjadikan campuran beraspal yang lebih baik untuk kondisi temperatur yang tinggi dan banyak curah hujan seperti di Indonesia.

Untuk menaikkan mutu campuran beraspal, salah satunya dengan menambahkan plastik yang dalam istilah kimianya disebut polimer. Penambahan polimer untuk menaikkan mutu campuran beraspal ada dua cara, yaitu cara basah dan cara kering. Cara basah dilakukan dengan menambahkan plastik ke dalam aspal panas dan dicampur hingga homogen, sedangkan cara kering dilakukan dengan menambahkan plastik ke dalam agregat panas. Dari hasil penelitian diperoleh karakteristik Marshall, stabilitas dinamis, dan resilien modulus yang lebih besar dari aspal penetrasi 60, namun lebih rendah dari cara basah. Dari segi ekonomi, cara kering diperkirakan lebih murah karena waktu pencampuran lebih cepat dan tidak memerlukan alat pengaduk (mixer) dan lebih mudah dikerjakan daripada cara basah (Suroso, T.W., 2009).

Asrar, Y.D. (2007) dalam tesisnya menyimpulkan bahwa penambahan plastik dalam aspal akan memberikan pengaruh yang baik terhadap sifat-sifat aspal. Hasil pengujian Marshall terhadap campuran beraspal yang mengandung plastik menunjukkan bahwa penambahan kadar plastik sampai dengan 3% pada aspal meningkatkan nilai stabilitas, berat isi, kepadatan agregat yang dipadatkan (CAD) dan Marshall Quotient campuran HRA. Sejalan dengan peningkatan penambahan plastik pada aspal, nilai deformasi permanen campuran dari hasil tes jejak roda mengalami penurunan dan menyebabkan peningkatan terhadap stabilitas dinamis.

Rezza P. dan Aschuri I. (2009) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa penambahan sampah plastik pada aspal sebesar 0,5%, 1%, dan 2% dari berat aspal penetrasi 60/80 akan dapat secara signifikan meningkatkan kualitas aspal.

Dari beberapa penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa penambahan plastik ke dalam aspal akan meningkatkan kualitas aspal dan sekaligus akan meningkatkan kualitas campuran beton aspalnya.

Selasa, 14 Desember 2010

Trotoar dan Hak Pejalan Kaki

Suatu sore di Jogja. Pedagang kaki lima menggelar dagangan, kerumunan orang bagai laron menikmati hidangan murah meriah di sepanjang jalan. Semakin malam, pengunjung semakin ramai dan lampu-lampu mulai dinyalakan, seakan menambah indahnya Kota Jogja. Teringat lagu yang dilantunkan oleh salah satu musisi Indonesia (Kla Project) dan menjadi lagu yang selalu diingat setiap orang yang pernah berkunjung ke Jogja.

Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu. Masih seperti dulu, tiap sudut menyapaku bersahabat penuh selaksa makna. Terhanyut aku akan nostalgi saat kita sering luangkan waktu nikmati bersama suasana Jogja. Di persimpangan, langkahku terhenti. Ramai kaki lima menjajakan sajian khas berselera. Orang duduk bersila, musisi jalanan mulai beraksi seiring laraku kehilanganmu, merintih sendiri, di tengah deru kotamu (Walau kini kau t’lah tiada tak kembali) Oh…  (Namun kotamu hadirkan senyummu abadi) (Izinkanlah aku untuk s’lalu pulang lagi) (Bila hati mulai sepi tanpa terobati) Oh… Tak terobati. Musisi jalanan mulai beraksi, oh…  Merintih sendiri, di tengah deru, hey… Walau kini kau t’lah tiada tak kembali, namun kotamu hadirkan senyummu abadi. Izinkanlah aku untuk s’lalu pulang lagi (untuk s’lalu pulang lagi). Bila hati mulai sepi tanpa terobati, oh… (Walau kini kau t’lah tiada tak kembali). Tak kembali… (Namun kotamu hadirkan senyummu abadi) Namun kotamu hadirkan senyummu yang, yang abadi (Izinkanlah aku untuk s’lalu pulang lagi) Izinkanlah untuk s’lalu, selalu pulang lagi (Bila hati mulai sepi tanpa terobati). Bila hati mulai sepi tanpa terobati. Walau kini engkau telah tiada (tak kembali) tak kembali, namun kotamu hadirkan senyummu (abadi). Senyummu abadi, abadi…

Syair lagu yang sangat indah, yang membuat warga Jogja sangat bangga akan kotanya. Beberapa bait pada syair lagu di atas mengisyaratkan bahwa salah satu keindahan Kota Jogja yang tak pernah akan lepas dari kenangan adalah ramai kaki limanya. Kaki lima seolah sudah menjadi ciri khas Kota Jogja. Para wisatawan merasa belum lengkap kalau belum mencoba jajan di kaki lima ataupun “lesehan”.

Mungkin pedagang kaki lima ini sudah menjadi ciri dari Kota Yogyakarta, namun apakan harus mengorbankan orang lain, para pejalan kaki, yang sebenarnya mempunyai hak akan trotoar tersebut? Sering kita merasakan ketika berjalan harus keluar dari trotoar, masuk ke badan jalan, karena sudah tidak tersedia ruang lagi bagi kita pejalan kaki. Ironis memang, sesuatu yang menjadi hak kita, pejalan kaki, direbut oleh para oknum pedagang kaki lima yang tidak bertanggung jawab ini.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia trotoar didefinisikan sebagai tepi jalan besar yang sedikit lebih tinggi daripada jalan tersebut dan digunakan sebagai tempat orang berjalan kaki. Dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 14 Tahun 2006 tentang Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas di Jalan dijelaskan bahwa trotoar merupakan salah satu fasilitas pejalan kaki yang merupakan bagian dari fasilitas pendukung kegiatan lalu lintas dan angkutan jalan. Dalam salah satu pasal Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan disebutkan bahwa setiap jalan yang digunakan untuk lalu lintas umum wajib dilengkapi dengan perlengkapan jalan berupa fasilitas untuk pejalan kaki dan penyandang cacat. Dalam pasal yang lain disebutkan bahwa pejalan kaki berhak atas ketersediaan fasilitas pendukung yang berupa trotoar, tempat penyeberangan, dan fasilitas lain. Dari difinisi-definisi di atas sudah sangat jelas bahwa trotoar dibuat untuk kepentingan pejalan kaki. Pada kenyataannya, masih sangat banyak trotoar yang sudah beralih fungsi menjadi lahan subur untuk melakukan kegiatan perekonomian, baik untuk tempat berdagang maupun tempat parkir.

Gangguan terhadap para pejalan kaki ini tentunya harus mendapat perhatian serius dari semua pihak, bahkan pasal 275 Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menjelaskan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi rambu lalu lintas, marka jalan, alat pemberi isyarat lalu lintas, fasilitas pejalan kaki, dan alat pengaman pengguna jalan dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah). Pasal tersebut mempertegas fungsi trotoar sebagai tempat untuk berjalan kaki dengan aman dan sedikit banyak telah memberikan jaminan kepada para pejalan kaki untuk dapat menikmati fasilitasnya.

Mari berbagi
Guna mengembalikan trotoar sebagaimana fungsinya bukan merupakan pekerjaan yang mudah dan perlu dilakukan kerja sama antara berbagai pihak, baik pemerintah kota/daerah, para PKL, maupun masyarakat agar trotoar sebagai fasilitas pejalan kaki tetap ada sesuai fungsinya dan pedagang kaki lima yang “ngangeni” para wisatawan juga tetap ada. Pemerintah kota/daerah harus menetapkan batasan yang jelas mengenai penggunaan sebagian trotoar untuk kegiatan usaha tanpa meninggalkan hak para pejalan kaki, menetapkan kawasan kaki lima dan kawasan bebas kaki lima, maupun harus secara tegas melakukan penertiban akan pelanggaran-pelanggaran yang telah dilakukan oleh oknum PKL. Para PKL harus sadar bahwa para pejalan kaki harus mendapatkan prioritas yaitu dengan memberikan ruang yang cukup bagi para pejalan kaki. Masyarakat harus senantiasa ikut mengawasi dan menjaga agar trotoar dapat tetap sesuai fungsinya. Apabila keberadaan PKL tidak segera ditata, maka para pejalan kaki akan kehilangan haknya dan PKL yang tidak tertata justru akan membuat Kota Jogja tidak menarik lagi.

Trotoar adalah hak para pejalan kaki, pedagang kaki lima adalah ciri khas Kota Jogja, mari kita berbagi.